akses.co – Tindakan OK Muhammad Kurnia Aryeta alias Koko, 30, terdakwa dugaan kepemilikan narkotika yang marah usai sidang dan berusaha mengejar awak media yang mengabadikan fotonya saat sidang di ruang Cakra 6 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (13/7) lalu merupakan arogansi yang bersangkutan.
Sosiolog Universitas Sumatera Utara (USU), Profesor Badaruddin menilai, berstatus anak bupati membuat Koko bersikap arogan dan bertindak semena-mena. Upaya penyerangan terhadap awak media yang tengah melakukan tugasnya menurut Badaruddin memperkuat dugaan arogansi terdakwa.
“Mungkin juga karena dia anak bupati, arogansinya muncul. Tapi tidak semua anak penjabat seperti itu. Namun pada kenyataannya seperti itu yang terjadi,” ujar Badaruddin, Jumat (14/7/2017).
Selain itu kata Badaruddin, faktor lain yang menyebabkan Koko berupaya melampiaskan kemarahannya kepada wartawan bisa jadi disebabkan kurangnya perhatian dari ayahnya, OK Arya Zulkarnaen. Apa lagi diketahui, OK Arya Zulkarnaen telah menceraikan ibu kandung Koko dan telah menikah dengan perempuan lain.
“Orangtua yang memiliki jabatan seperti bupati pasti sibuk, sehingga tidak sempat memberikan perhatian kepada anaknya. Apa lagi ibu dan bapaknya sudah cerai. Faktor lingkungan juga sangat luar biasa godaannya,” kata Badaruddin.
Belum lagi, petugas pengawal tahanan (waltah) yang seharusnya menjaga ketat Koko usai sidang juga terkesan lalai. “Seharusnya ada pengamanan terdakwa dan jalannya persidangan. Justru ini juga penyebab sehingga terjadinya percobaan pemukulan itu,” katanya.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi A DPRD Sumut, Syamsul Qodri Marpaung mengatakan, kasus dugaan penyalahgunaan narkotika yang menjerat anak tokoh publik seperti Bupati Batu Bara, OK Arya Zulakrnaen seharusnya tidak terjadi. “Sangat disayangkan ketika kasus narkoba menimpa keluarga tokoh publik yang seyogianya menjadi panutan publik. Semoga kejadian ini menjadi pemicu pejabat-pejabat publik untuk memerangi narkoba,” ucapnya saat dikonfirmasi, Jumat (14/7/2017).
Apa lagi, kasus tersebut merupakan kasus kedua Koko setelah sebelumnya juga tersangkut kasus yang sama. Untuk kasus sebelumnya, dia tidak menjalani hukuman namun direhabilitasi. Syamsul menyatakan, untuk itu, proses hukum harus transparan tanpa memandang apakah yang bersangkutan merupakan pejabat, anak pejabat atau masyarakat biasa. “Transparansi harus, untuk memastikan yang bersangkutan apakah pengguna atau pengedar sehingga menjadi efek jera bagi masyarakat luas dan terwujudnya kepastian hukum,” ungkap politisi PKS itu. (sam)