akses.co – Bebasnya Siwaji Raja, pria yang disebut-sebut pihak Polrestabes Medan sebagai otak pembunuhan Indra Gunawan alias Kuna menjadi catatan baru kinerja penyidik kepolisian khususnya di Sumut untuk urusan blunder.
Betapa tidak, dua kali pria yang disapa Kalimas itu mengajukan pra peradilan (Prapid) atas kasus yang menimpanya dan keduanya dikabulkan dan akhirnya pengabulan permohonan prapid tersebut membuatnya menghirup udara bebas, Kamis (10/8/2017) malam.
Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Badaruddin mengatakan, bebasnya Siwaji Raja lantaran pihak kepolisian kurang serius mengajukan bukti-bukti dalam penangkapan Siwaji Raja. “Kalau dilihat dari kinerja, berarti polisinya masih kurang serius atau becus untuk mengajukan bukti-bukti yang menguatkan proses penangkapan itu,” ujarnya saat dikonfirmasi akses.co, Jumat (11/8/2017).
Lemahnya bukti tersebut memudahkan hakim yang mengadili permohonan prapid tersebut untuk mematahkan bukti-bukti yang ada pada pihak kepolisian. Hal itu juga kata Badaruddin mematahkan adanya dugaan kongkalikong antara Siwaji Raja dan hakim untuk mengabulkan permohonan pengusaha berdarah India tersebut.
“Setelah di proses peradilan hakim memutuskan tidak terbukti bersalah, kita lihat, ini tidak mungkin terjadi kalau buktinya cukup kuat. Hakim kan tidak mungkin untuk mengabulkan ini kalau memang polisi benar, tapi karena bukti-bukti yang diajukan kepolisian masih lemah mudah dipatahkan hakim,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Pusat Studi Hukum dan Pembaruan Peradilan (Pushpa) Sumut, Nuriyono, dikabulkannya permohonan prapid Siwaji Raja setelah hakim menemukan adanya fakta-fakta bahwa penangkapan itu tidak prosedural.
“Prapid itu sebuah upaya hukum yang dapat dilakukan tersangka artinya bahwa harus menghormati langkah hukum yang dilakukan oleh Raja yang ternyata dua kali sprindik baru lakukan kepolisian tidak prosedural, ” ucapnya.
Menurut Nuriyono, penahanan yang dilakukan kepolisian setelah hakim mengabulkam permohonan prapid pertama Siwaji Raja juga kental aroma dendam. “Dan penyidik kepolisian pun jangan menjadikan ini dendam, apa lagi ternyata ada yang cacat dari prosedur penangkapan, mulai saat penangkapan hingga penetapan tersangka. Harusnya mereka menyadari tidak ada alat bukti yang dijadikan melengkapi penetapan tersangka ternyata dan ini bisa dibuktikan hakim,” ucapnya.
Langkah Siwaji Raja bersama kuasa hukumnya menurut Nuriyono merupakan sebuah langkah yang sangat baik sebagai koreksi kinerja penyidik ke depannya. “Untung saja Raja faham hukum, kalau tidak faham hukum bisa jadi korban dia,” ungkapnya.
Nuriyono menyebutkan, peristiwa tersebut merupakan pelajaran untuk penyidik jangan begitu mudah menetapkan tersangka dan jangan emosional. Selain itu, atas kesalahan penyidik tersebut menurut Nuriyono perlu diberikan sanksi.
“Penyidik yang menangani ini harus di sanksi artinya dia salah menggunakan kewenangan dalam menangani perkara Raja. Aku pikir perlu sanksi ataupun evaluasi terhadap kinerja pendidik, seperti perlu diajarkan bintek (bimbingan teknis). Jangan karena sudah sukses terus menangkapi orang dengan tidak sesuai prosedur.
Terkait kemungkina hakim bermain pada prapid tersebut, menurutnya kecil kemungkinan. Hakim tidak akan mungkin berspekulasi. “Ini hak yang positif, sekarang hakim tidak alergi untuk mengalahkan penyidik,” ungkapnya. (sam)