26.7 C
Medan
Minggu, 19 Mei 2024

Ini Enam Penyebab Kepala Daerah dan Wakilnya “Pekong” Versi Soekirman

Menarik untuk dibaca

Redaksi
Redaksihttps://www.akses.co/
Redaktur berita di https://www.akses.co
- Advertisement -[the_ad_placement id="artikel-bawah-judul-diatas-teks"]

Talkshow Zero Conflict Leader

MEDAN, akses.co – Pecah kongsi (pekong) antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi momok dalam demokrasi tanah air. Tidak kompaknya gubernur – wakil gubernur, bupati – wakil bupati, wali kota – wakil wali kota, bisa menimbulkan korban masyarakat karena pembangunan daerahnya terganggu akibat pemimpinnya ‘berkelahi’.

Penulis berkesempatan merekam paparan Bupati Serdangbedagai, Ir H Soekirman, Zero Conflict Leader, yang digelar Patron Institute, Sergai Youth Forum di Aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sumatera Utara, pekan lalu. Pembicara lain yang hadir adalah Sekretaris Prodi Sosiologi Agama UINSU, Faisal Riza, MA. Soekirman didapuk sebagai salah satu kepala daerah yang mampu meredam, mengelola konflik sehingga pembangunan daerah yang dipimpinnya berjalan dengan baik.

Dalam paparannya, Soekirman, mengakui harmonisasi hubungan kepala daerah – wakil kepala daerah adalah hal yang penting. Dia menegaskan, dalam UU sudah di atur apa saja yang menjadi tugas dan larangan untuk bupati dan wakilnya. Kalau saja bupati dan wakilnya paham UU tersebut maka sebenarnya tidak ada konflik. Dalam UU Pemerintahan Daerah No 23/2014 sudah jelas tentang. Misalnya, kegiatan yang bupati kerjakan adalah pemerintahan, dll sementara wakilnya wilayah lingkungan hidup, sosial, pemuda dan olahraga, lingkungan, dll. Kemudian bupati itu bertanggung jawab kepada rakyat, sementara wakil bupati bertanggung jawab kepada bupati.

Dengan pengalama menjadi Wakil Bupati Serdangbedagai kemudian terpilih sebagai Bupati Serdangbedagai pada 2015, Soekirman mampu memaparkan secara gamblang ada enam penyebab konflik kepala daerah – wakil kepala daerah. Berikut penjelasan Soekirman, yang dikutip langsung dari paparannya, lalu disesuaikan dengan interpretasi penulis.

1. “Partai politik (yang mengusung): seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan kombinasi, kesepakatan, lobi, dialog, dan bargaining antara dua poros. Kalau pasangan bupati – wakil bupati yang diusung menang, partai politik ini menjadi penyebab konflik. Karena kepada bupati dikatakan oleh partai pendukungnya, ini dinas-dinas ini harus dari kita kabinetnya, nanti kalau ada kegiatan kegiatan ini, sama kita. Kalau ada proyek-proyek ini, sama kita. Sehingga si wakil misalnya partainya minoritas atau tak punya partai, tak dianggap.

Atau sebaliknya, partai politiknya wakil bupati adalah partai besar yang memasangkan kepada bupati, partainya mengatakan, jangan lagak lagak bupati itu, kalau tak ada partai kita, kalau tak ada dukungan kita, tak menang kalian ini. Jadi harus kita yang mengatur, jadi partai politik menjadi penyebab konlik nomor satu.”

2. “Relawan: biasanya pasangan bupati – wakil bupati itu memiliki relawan A, B, macam macam. Nanti relawan itu mengatakan “Tak usah cakaplah pak partai itu tak ada kerjanya itu. Kita pak yang menyebabkan kemenangan, jadi meskinya kami pak, harus di perhatikan. Lalu dibuatlah pertemuan di rumah makan atau di restoran antara bupati dan relawannya, pak wakil bupati tidak ikut sehingga mulailah ada mata-mata yang melapor kepada wakil bupati, bahwa di sana ada kumpul-kumpul membicarakan ini, membicarakan itu dan lain lain. Ini jadi bibit konflik. Rebutan kue, rebutan pengaruh. Jadi begini, kalau jabatan politik ini di tarik sana, di tarik sini.”

3. “Birokrasi: begitu calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dilantik, itu yang cari muka, dari kepala ini, kepala itu, dari dinas ini, dinas itu. Banyaknya setengah mati. Kenapa? Dia takut terancam karena kemarin tak menjadi pendukungnya. Kepala dinas kan tau itu waktu si bupati mencalonkan, dia yang mengoyak-koyak spanduk si bupati, tapi di suruh orang lain, itu kan politik itu begitu. Ini jadinya di birokrasi itu juga menjadikan penyebab konflik itu tadi.

“Yang paling sering yang terjadi di birokrasi itu adalah di sekertariat daerah di kantor itulah, di dapurnya itu, siapa itu? Contoh Bagian Umum, Bagian Rumah Tangga, Bagian Humas, Bagian Protokoler. Misalnya, protokoler, dia yang menentukan di mana duduknya bupati, dimana duduk nya wakil bupati, yang ngatur kursinya dia. Di jauh jauhkannya. Bupati di ujung sini, wakil bupati di ujung sana. Tak bisa mereka bicara kalau ada apa-apa di pemerintahannya. Sehingga kalau dalam 10 pertemuan atau 10 acara begitu terus dibuatnya, maka lama lama jauh ini bupati sama wakilnya. Kemudian soal jam acara. Kepada bupati dikabarkannya jam 09.00 pagi. Di beritahunya kepada wakil bupati jam 09.30 pagi. Sehingga si wakil itu datang terlambat sehingga ia jadi cemoohan orang. “tengok itu wakilnya itu, bisa pula dia baru masuk atau sebaliknya.”

“Kemudian kerja lain bagian protokol itu, soal baju (dress code). Pada suatu pertemuan kepada isteri bupati di suruh pakai baju misalnya pakai baju kuning. Sementara sama isteri wakil bupati tidak diberitahu, sehingga pakai baju suka hati. Lalu ketika dalam acara, tampaklah itu nanti semua seragamsementara istri wakil bupati terlihat aneh karena warna bajunya lain sendiri. Sehingga nanti isterinya bertengkar dengan wakil bupati ketika di rumah, itu dia penyebab konflik.”

“Selanjutnya, Bagian Humas. Bagian ini yang menentukan berita bupati – wakil bupati di media massa. Lalu misalnya pemasangan spanduk selamat datang, pada pejabat yang lebih tinggi. Spanduk yang dibuat dipasang gambar bupati sama sekda saja, wakil bupati tidak masuk atau foto bupatinya sendiri. Atau gambar bupati dan wakil bupati dipasang, tapi bisa juga dikerjain lagi, misalnya gambar wakil bupati di buat besar, sementara bupatinya di buat kecil, itu sumber konflik itu tanpa kita sadari.

“Ada juga Bagian Umum, subbagian Rumah Tangga. Di rumahnya bupati dibuat rak anggrek, sementara di rumahnya wakil tak ada. Nanti isterinya wakil bupati ngomong, enak kali isteri bupati itu dibuatkan rak anggrek, kita kok gak ada. Jangankan 15 macam, aku saja minta dua sampe sekarang tak datang-datang. Kelihatannya itu remeh-temeh tapi berpotensi menciptakan konflik, jadi saya sebut tadi mulai dari protokoler, humas, bagian rumah tangga di tingkat birokrasi itu, termasuk camat misalnya. Datang bupati – wakil bupati ke kecamatan. Saat mau pulang sampai tak muat bagai mobilnya bupati di penuhi pisang barangan, duku, dan lainnya. Sopirnya wakil bupati terpelongo saja dia di bukanya pulak bagasi belakang, tapi tak ada yang mengisi. Terus pas di jalan sambil menyetir dia bilang. “Parah kali lah pak orang itu, tempatnya bupati itu penuh itu pak dukunya. Aku sudah buka bagasi, gak ada yang mau ngisi. Ini penyebab konflik.”

4. “Keluarga: keluarga wakil bupati bilang jangan sok kali itu keluarga bupati itu kalau bukan kita wakilnya, tak menang dia itu. Lalu keluarga bupati bikin kenduri, ada yang mengompori wakil bupati, sekarang bupati keluarganya yang mengatur dia itu. Nah, lalu cerita di warung-warung, cerita di mana-mana supaya orang takut. Ini juga bisa buat konflik.”

5. “Korporasi: Korporasi atau pengusaha. Karena berteman, merasa kenal dekat dan sebagainya dengan bupati – wakil bupati. Nanti mereka yang membagi-bagi proyek untuk bupati – wakil bupati. Ini juga sumber konflik.”

6. “Pemerintah atasan: misalnya gubernur. Gubernur itu kalau memanggil kepala daerah, mestinya kan dipanggil dua-dua (bupati-wakil bupati) kalau ada brefieng yang mau dilakukan dalam rangka pemerintahan di daerah. Ini nanti yang dipanggil misalnya hanya wakil bupati, karena mereka satu partai atau apa. Sudah tiga kali dipanggil wakil bupati, bupati malah tak pernah dipanggil atau sebaliknya.”

Diakui Soekirman, faktor-faktor ini yang menyebabkan konflik, tapi kenyataannya di lapangan lebih besar dari pada itu. Maka wajarlah, kalau kemudian tak cakapan. Wajarlah kalau tidurnya bupati dan wakil itu sebantal, tapi mimpinya beda. Lalu pertanyaannya, bagaimana Soekirman mengatasinya?

“Kalau seperti yang dikatakan tadi, caranya adalah perbaiki niat. Ketika kita menjadi pejabat niatnya itu apa? Saya dulu berniat bahwa di sisi Allah SWT, orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Lalu saya berpikir menjadi dosen, dengan harapan saya bisa bermanfaat bagi 1.000 orang. Lalu saya berpikir menjadi wakil bupati dan bupati, saya bisa bermanfaat bagi 10.000 atau 100.000 orang. Maka itu lebih baik, maka yang pertama adalah niat. Kedua, ikhlas. Keikhlasan saja, karena kita ikhlas otomatis apa yang kita kerjakan tidak menjadi beban. Kemudian yang ketiga, komunikasi. Komunikasi itu harus lancar dan hangat antara bupati – wakil bupati. Apalagi sekarang komunikasi lebih mudah dengan adanya teknologi,” demikian Soekirman.(roynanda sinaga/rih)

*Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FIS UIN Sumut

- Advertisement -[the_ad_placement id="iklan-diabwah-artikel"]

Berita Selanjutnya

[gs-fb-comments]

Berikan Komentar anda

- Advertisement -[the_ad_placement id="sidebar-1"]

Juga banyak dibaca