akses.co – Sejak terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, memang tampak memiliki posisi dilematis, antara mengonsolidasi partai pasca konflik dualisme antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, dengan upaya memajukan partai.
Sebelum jadi tersangka e-KTP, figur Setya Novanto sempat diragukan dan kontroversial karena skandal rekaman dengan Direktur Freeport yang kemudian dikenal di dunia maya dan media sosial dengan istilah #PapaMintaSaham
Kemudian, sejak nama Setya Novanto disebut-sebut dan diduga terlibat kasus e-KTP, Partai Golkar seperti tersandera secara politik ketika berhadapan dengan politik Istana. Salah satu langkah politik Partai Golkar yang cukup menyita perhatian adalah deklarasi dukungan sejak dini pada Joko Widodo untuk kembali dicalonkan sebagai presiden di Pilpres 2019.
Soal mengusung Jokowi sejak dini untuk periode kedua itu, sebenarnya terkait penyelesaian konflik dualisme Partai Golkar tersebut. Selain itu, program pengusungan itu merupakan bentuk lemahnya bargaining partai terhadap pemerintah. Karena sebelumnya Partai Golkar di Koalisi Merah Putih. Partai Golkar jadi lebih lemah lagi bargaining positionnya ketika Setya Novanto terlibat skandal Freeport.
Nah, sekarang begitu ditetapkan sebagai tersangka (e-KTP) oleh KPK, maka politik Partai Golkar sudah buyar. Golkar buyar artinya kerja politik Partai Golkar pasca konflik yaitu Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 akan berdampak negatif karena status ketua-nya. Keadaan ini pasti memengaruhi suasana batin organisasi dan kepercayaan rakyat terhadap partai ini. (rur)
Penulis: Faisal Riza, MA (Pengamat Politik/Dosen UIN Sumut).